Tentang Pers indonesia Berbagai Pungsi Jurnalis Yang Punya Pran yaitu Pers adalah pilar Ke Empat Di Negri ini


*Tidak bisa dipungkiri* Era digitalisasi telah membidani lahirnya ratusan atau bahkan mungkin ribuan pers baru. Mulai dari pers dengan platform media cetak, media elektronik, sampai dengan pers independen yang lebih kental disebut dengan netizen. Di satu sisi, kemunculan pers-pers (baru) tersebut mendatangkan dampak positif, yaitu publik mendapatkan informasi yang lebih beragam, baik narasi maupun kontennya. Namun disisi lain, hal tersebut berpotensi memunculkan pula dampak negatif. Peningkatan kuantitas entitas pers acap tidak diiringi dengan peningkatan kualitas. Pers sering dituduh mengabaikan kode etik jurnalistik, bahkan pernah muncul kecaman bahwa pers era saat ini cenderung mengutamakan click bait dengan mengabaikan unsur etika pers, yaitu suatu aturan atau kaidah-kaidah yang mengatur suatu media dalam mempublikasikan suatu sajian program, berita atau informasi.

Penulis pernah mempunyai kawan di Aceh, yang fotonya diambil dan dipublikasikan dalam sebuah media online lokal Aceh dengan narasi ”ketidakpedulian masyarakat terhadap protocol kesehatan dan Covid-19”. Hal tersebut menimbulkan kehebohan karena kawan penulis adalah salah seorang pejabat di salah satu BUMN, dimana dalam tangkapan foto tersebut yang bersangkutan sedang duduk di warung kopi tanpa menggunakan masker. Pun demikian dengan pengunjung yang lain. Setelah ditelisik lebih dalam, ternyata foto tersebut merupakan foto lama, yang diambil jauh sebelum masa pandemi. Otomatis hal tersebut memicu perlawanan dari kawan penulis melalui pengajuan somasi kepada pimpinan redaksi media online tersebut. Padahal hal tersebut bisa saja dihindari andai sang jurnalistik menyampaikan narasi dan foto yang inline, kredibel, dan sesuai fakta. Disinilah contoh nyata kode etik pers diabaikan oleh si jurnalistik, mungkin karena terburu-buru mengejar deadline atau hanya untuk mengejar “kuota” publikasi. Entahlah.

Namun kenapa sampai timbul kecaman bahwa pers saat ini cenderung abai terhadap kode etik mereka sendiri? Padahal kode etik merupakan basis utama profesi jurnalistik. Merujuk tulisan Alviano Andrianto (2007), etika pers merupakan suatu aturan atau kaidah-kaidah yang mengatur suatu media dalam mempublikasikan suatu sajian program, berita atau informasi. Sumber etika pers berupa kesadaran moral yaitu pengetahuan tentang baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers. Dari pendapat tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa seorang jurnalistik (pers) harus memilah terlebih dahulu informasi-informasi yang didapatkan, dan disajikan secara bertanggungjawab agar berita yang disampaikan dapat benar-benar kredibel dan utuh diterima publik.

Salah satu akar persoalannya yaitu, di zaman kebebasan pers serta era digitalisasi saat ini, terlalu mudah menerbitkan pers atau menjadi wartawan. Bahkan, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers tahun 2007-2010, Lukas Suwarso pernah mengatakan bahwa menerbitkan pers kini seperti menggelar dagangan kaki lima di trotoar, dan menjadi ”wartawan” seperti menjadi pengamen di jalanan. Namun bahkan menjadi pengamen dan berdagang kaki lima relatif lebih sulit ketimbang menjadi ”wartawan” atau ”menerbitkan pers”; karena menjadi pengamen harus bisa main gitar dan pedagang kaki lima harus membayar restribusi harian. Sebuah pernyataan yang menohok tentunya.

Idealnya, wartawan dan pengelola pers perlu memahami etika adalah satu konvensi, atau kelaziman, yang berlaku dalam tatanan masyarakat yang mengenali dan memahami etika.  Artinya, lazimnya hanya mereka yang paham etika (serta memiliki ketrampilan dan  pengetahuan jurnalisme) yang akan terjun dalam dunia pers. Situasi menjadi tidak lazim ketika etika sebagai tolok ukur tidak dihayati atau bisa jadi tidak dikenali. Hal inilah yang mendorong menumpuknya konten-konten click bait yang belakangan ini merajalela mewarnai media public. Banyak orang menjadi wartawan tanpa memiliki latarbelakang pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang jurnalisme. Sejumlah prasyarat kemampuan dan pengetahuan yang seharusnya melekat pada seseorang ketika ia menyandang predikat wartawan, kini tidak  lagi ada tolok ukurnya.

Selain itu, minimnya pengetahuan masyarakat mengenai konsep etika turut berkontribusi akan timbulnya hal-hal seperti itu. Mungkin hal tersebut dikarenakan etika memang bukan perangkat aturan yang mengikat, sehingga ”aturan main” menjadi wartawan atau menerbitkan pers tidak dipahami secara mendalam oleh public. Memang perlu waktu untuk membuat masyarakat mengenali dan menerapkan etika dalam kehidupan sehari-hari. Jika etika secara umum telah dipahami masyarakat, diharapkan persoalan ”wartawan” dan ”pers baru” yang kurang beretika, lambat laun dapat lenyap sehingga kedepannya jurnalistik seperti yang diamanatkan oleh UU No.40/1999-lah yang akan beredar dan bekerja untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mendapat informasi dan mengembangkan pendapat umum.

Semoga kedepannya pers Indonesia tidak hanya berkembang dari sisi kuantitas, namun juga meningkatkan sisi kualitasnya. Selamat Hari Pers Nasional, 9 Februari 2022.

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran

Referensi:

Andrianto, Alviano. 2007. Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Suwarso, Lukas. 2007. Masyarakat Buta Etika. Publikasi dalam dewanpers.or.id

Penulis: *Adi Sambo, Bersama Arifin Sulsel*

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama