Penggunaan Kewenagan Hak Menggunakan Diskresi Harus Persetujuan Gubernur

Menanggapi hal itu, Direktur Central Hukum & Keadilan (CHK) Aceh Singkil, Razaliardi Manik mengatakan, alasan pengangkatan staf khusus bupati bagi seorang kepala daerah yang hanya ditunjuk sebagai Pejabat (Pj), sama sekali tidak objektif dan rasional, dan meminta Pj. Bupati Marthunis belajar lagi agar memahami administrasi pemerintahan. 


Dia menilai pernyataan Pj. Bupati dan Kabag Hukum Setdakab soal kewenangan hak menggunakan Diskresi seorang Kepala Daerah untuk mengangkat staf khusus bupati merupakan pemaksaan kehendak. Sebab, tidak ada kebutuhan mendesak disitu.


“Benar itu. Kepala daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan Peraturan Kepala Daerah atau Keputusan Kepala Daerah, serta mengambil tindakan tertentu guna memenuhi kebutuhan daerah dan masyarakat. Landasannya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” katanya kepada beberapa media, Minggu (11/6/2023) di Gunung Meriah.

Tapi sebutnya, “Pj. Bupati kita ini tahu tidak, bahwa dalam menggunakan kewenangan diskresi tersebut ada ketentuannya. Ada lingkup diskresi, ada persyaratan yang harus terpenuhi, dan ada prosedur penggunaan diskresi.”


Menurutnya, penggunaan kewenangan hak menggunakan diskresi kepala daerah itu harus terlebih dahulu menyampaikan permohonan persetujuan kepada atasan, dalam hal ini tentu gubernur Aceh, dan disampaikan paling lama lima hari kerja sebelum penggunaan diskresi itu. Permohonan persetujuan tersebut harus pula dilengkapi dengan alasan yang objektif dan rasional. 


“Seharusnya, sebelum menggunakan hak kewenangan diskresi yang dimiliki seorang kepala daerah, beliau selaku Pj. Bupati harus terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan kepada atasan. Jika gubernur selaku atasan sudah memberikan persetujuannya barulah hak menggunakan kewenangan tersebut di jalankan,” ujarnya.


Ketentuan harus mendapat persetujuan itu termuat dalam pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang  No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.


Selanjutnya, sebut Razaliardi, penggunaan diskresi ini akan ada menimbulkan Akibat Hukum. Akibat hukum tersebut dijabarkan secara jelas dalam pasal 30 ayat (1) huruf a, huruf b, dan c. 


Dalam  pasal 30 ayat (1) huruf c, disebutkan pula, jika penggunaan hak diskresi tersebut tidak sesuai dengan Pasal 26, Psal 27 dan Pasal 28 dalam Undang-Undang ini, maka akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana yang dimaksud akan menjadi tidak sah. Hal ini dapat dilihat di ayat (2) dalam pasal ini.


“Nah sekarang, terlepas alasan penggunaan hak diskresi itu objektif dan rasional atau tidak, pertanyaannya apakah itu semuanya terpenuhi? Satu hal lagi, ada tidak Pj. Bupati mengajukan permohonan persetujuan dan kemudian mendapatkan persetujuan dari gubernur. Kalau ada, coba tunjukkan, biar kita tutup masalah ini” tantangnya. 


Sebenarnya, kata Razaliardi, jika Marthunis benar-benar objektif dan rasional, seharusnya membenahi persoalan-persoalan yang Marthunis gambarkan rentan menimbulkan masalah hukum dan sebagainya itu, solusinya bukan dengan cara mengangkat staf khusus. Tapi cukup dengan cara melakukan evaluasi terhadap kinerja para ASN, khususnya pada jabatan-jabatan yang rentan menimbulkan persoalan.


“Atau barangkali beliau menganggap ASN yang ada di daerah ini tidak memiliki SDM yang mempunyai kemampuan untuk membenahi persoalan tersebut, sehingga Pj. Bupati harus mengangkat staf khusus? Kalaulah demikian Anda memandangnya, maka Anda salah besar bung,” cetusnya, sembari menambahkan agar jangan terlalu sok pintar dengan melihat orang lain bodoh.


Kembali kepada Kewenangan hak menggunakan Diskresi, lanjutnya, Pasal 22 ayat (2) dalam Undang-Undang itu menyebutkan, setiap penggunaan Diskresi bertujuan antara lain; Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.


“Dari keempat tujuan penggunaan Diskresi itu, bagian manakah yang menjadi alasan objektif Marthunis untuk menggunakan Kewenangan hak menggunakan Diskerisi kepala daerah. Coba tunjukkan”, jelasnya seakan bertanya.  


Ditambahkannya, kalau hanya sekedar membenahi persoalan di sektor Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) yang rentan terkait masalah hukum sehingga mengakibatkan banyak ASN terjerat masalah hukum, saya rasa itu tidak objektif dan rasional.


Sebab, kalau hanya sekedar membenahi persoalan di sektor Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) yang rentan terkait masalah hukum, saya pikir Marthunis cukup mendatangkan atau melibatkan lembaga Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Kejaksaan, dan lembaga lainnya untuk melakukan pengawasan konsultasi.


Jika perlu, lanjut lanjut Razaliardi, seorang Kepala Daerah bisa saja mendatangkan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi dan pencegahan korupsi di daerah yang dipimpinnya. 


“Jadi sebenarnya tidak perlu mengangkat staf khusus dengan memaksakan kehendak, sehingga harus menggunakan Kewenangan hak mempergunakan Diskresi sebagai regulasi yang cacat hukum itu demi mengangkat staf khusus. Kecuali barangkali ada kepentingan tertentu’, tutupnya.


Apa lagi, lanjut Razaliardi, batas waktu Wewenang Marthunis sebagai Pj. Bupati hanya sampai tanggal 22 Juli 2023. Sementara SK Pengangkatan Staf Khusus di keluarkan pada 1 Februari 2023. Jika dihitung hanya tinggal 5 bulan lagi sejak tanggal pengangkatan staf khusus bupati itu. Lain hal jika Marthunis ditetapkan kembali untuk jabatan tahun kedua berikutnya. (**)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama